KEARIFAN LOKAL DAN MASALAH LINGKUNGAN DI HUTAN BAMBU DESA SUMBER MUJUR KECAMATAN CANDIPURO KABUPATEN LUMAJANG


Naritoom mengatakan bahwa kearifan lokal sebagai pengetahuan yang terakumulasi karena pengalama-pengalaman hidup, dipelajari dari berbagai situasi di sekeliling kehidupan manusia dalam suatu wilayah. Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi yang bersifat empirik dan pragnatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun dari hasil olah pikir pengetahuan tersebut bertujuan untuk memecahkan kehidupan sehari-hari.
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur untuk mensasati lingkungan sekitar mereka dan menjadikan pengetahuan tersebut sebagai budaya yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi. Bentuk-bentuk pengetahuan tradisional tersebut muncul melalui cerita, legenda, nyanyian, ritual, dan aturan setempat. Kearifan lokal yang ada bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, interaksi dengan sesame, dan juga dalam situasi yang tidak terduga seperti bencana.
Kearifan lokal menjadi salah satu identitas yang membedakan antara suatu masyarakat lokal dengan masyarakat lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tipe-tipe kearifan lokal seperti berikut:
1.      Kearifan lokal dalam hubungannya dengan makanan khusus berhubungan dengan daerah tersebut, disesuaikan dengan iklim, dan makanan pokok setempat. Misalnya Susi Laut yang ada di Maluku.
2.      Kearifan lokal dalam hubungannya dengan pengobatan
3.      Kearifan lokal dalam hubungannya dengan system produksi sebagai bagian dari upaya untuk pemenuhan tenaga kerja. Misalnya Masohi di Maluku yang digunakan untuk membuka lahan pertanian.
4.      Kearifan lokal dalam hubungannya dengan perumahan, misalnya rumah orang Eskimo.
5.      Kearifan lokal dalam hubungannya dengan pakaian.
6.      Kearifan lokal dalam hubungannya dengan sesama manusia.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kearifan lokal nantinya akan mengendap dan berwujud tradisi atau agama. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Dalam beradaptasi terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat tersebut mengembangkan kearifan lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman mengelola lingkungan. Pemahaman mereka terhadap lingkungan sekitar sangat kuat dan menjadi pedoman bagi mereka untuk mengembangkan kearifan lokal di lingkungan mereka yang dikaitkan dengan kebudayaan, terutama kepercayaan dan hukum adat. Kearifan tersebut kemudian digunakan oleh masyarakat dalam bertindak terhadap lingkungan dan mengelolanya dengan baik sehingga tidak terjadi masalah di lingkungan mereka.
Menurut UU Nomor 4 Tahun 1982, lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Hubungan yang seimbang antara manusia dengan lingkungan akan mampu menyajikan kehidupan yang harmonis dan tidak saling merusak satu sama lain. Agar harmonisasi kehidupan tercipta, manusia harus bersikap arif terhadap lingkungan yang meliputi benda, tumbuhan, dan hewan yang ada di sekitar kita. Masalah lingkungan merupakan aspek negatif dari aktivitas manusia terhadap lingkungan biofisik.
Hutan Bambu merupakan kawasan yang dikenal sebagai tempat konservasi berbagai jenis tanaman bambu dan juga beberapa satwa seperti kera dan kalong yang ada di Desa Sumber Mujur Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang. Selain itu di Hutan Bambu terdapat mata air Sumber Deling yang merupakan salah satu penyuplai air bagi kehidupan masyarakat di Sumbermujur dan sekitarnya. Pada musim kemarau debit mata air ini antara 600-800 liter per detik sedangkan pada musim hujan mencapai 1.000 liter per detik.
Sumber Deling yang ada di kawasan Hutan Bambu mengaliri 426 hektar sawah di Desa Sumbermujur dan 561 hektar sawah di Desa Pandanwangi Kecamatan Tempeh. Selain itu mata air ini juga mengaliri sawah di tiga desa lain seperti Desa Penganggal, Desa Tambakrejo, dan Desa Kloposawit yang totalnya kurang lebih 891 hektar. Untuk kebutuhan air minum, ribuan warga yang ada di desa-desa yang ada di lereng Semeru menggantungkan hidupnya pada mata air Sumber Deling ini. Melihat pentingnya keberadaan Hutan Bambu dan mata air Sumber Deling, warga Desa Sumbermujur membuat Peraturan Desa Nomor 6 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa kawasan Sumbermujur tidak boleh “disentuh” baik flora maupun faunanya. Jika ada yang melanggar, maka pelaku akan dikenai sanksi sesuai hukum lingkungan, yaitu hukuman badan atau denda Rp. 500.000.000,00.
Setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Suro, warga Desa Sumbermujur mengadakan ritual larung pendam sesaji atau Maheso Suroan di kawasan Hutan Bambu. Kegiatan Maheso Suroan ini dilakukan oleh warga secara turun temurun untuk melestarikan tradisi yang dari nenek moyang mereka. Selain itu tradisi ini dilakukan oleh warga sebagai rasa syukur terhadap hasil pertanian yang melimpah dan agar warga terhindar dari bencana. Biasanya dalam acara ini, warga mendatangkan kesenian kuda lumping atau reog ponorogo untuk menyemarakkan acara.
Dalam melaksanakan tradisi ini, warga mengumpulkan berbagai macam sesaji yang berisi tumpeng nasi kuning, hasil perkebunan atau pertanian warga desa, serta satu kepala sapi atau kerbau dan dikumpulkan di Balai Desa Sumbermujur. Kemudian sesaji tersebut diarak beramai-ramai oleh warga dari balai desa ke mata air Sumber Deling di kawasan Hutan Bambu. Setelah sampai di sana, sesepuh desa membacakan doa untuk keselamatan warga lereng semeru, setelah sesepuh desa selesai membaca doa warga boleh mengambil sesaji yang tadi diarak dengan berebut beramai-ramai.
Puncak dari ritual Maheso Suroan tersebut ditandai dengan menanam kepala sapi atau kerbau di atas mata air Sumber Deling. Alasan mereka memendam kepala sapi atau kerbau karena kerbau atau sapi adalah hewan yang memiliki air kencing banyak. Dengan mengubur kepala sapi atau kerbau di sekitar mata air, warga berharap Sumber Deling selalu mengalirkan air bening yang melimpah seperti kencing sapi atau kerbau.
Dari sudut pandang geografi, dengan adanya kearifan lokal tersebut secara tidak langsung warga akan menjaga kawasan Hutan Bambu dan tidak menebangi pohon bambu yang ada di sana. Mereka akan menganggap bahwa daerah tersebut mempunyai nilai sakral sehingga mereka tidak berani untuk menebangi bambu secara sembarangan. Keberadaan bambu sangat erat kaitannya dengan mata air Sumber Deling yang ada di kawasan tersebut dan jika bambu di hutan itu ditebangi maka debit air di mata air akan mengecil. Hal ini akan berdampak buruk terhadap ribuan warga dan sawah yang menggantungkan hidupnya pada mata air tersebut.
Pada tahun 1970-an, keadaan ekonomi Indonesia masih belum begitu bagus. Masyarakat Desa Sumbermujur pada umumnya bekerja sebagai pembuat gedek atau dinding dari anyaman bambu. Mereka mengambil bambu dari kawasan Hutan Bambu dan karena Hutan Bambu terletak di sekitar empat dusun, maka pembabatan bambu di daerah tersebut sangat cepat dan hanya tersisa satu rumpun bambu yang berisi 20 batang. Hal tersebut mengakibatkan debit air di mata air Sumber Deling menurun sampai 300 liter per detik.
Menurunnya debit air di mata air Sumber Deling menyebabkan dampak yang begitu besar bagi masyarakat sekitar. Setiap malam warga harus mengantri untuk mendapatkan air bersih karena air yang mereka tamping pada siang hari tidak mencukupi kebutuhan mereka. Pada saat itu dilakukan penyaluran air secara bergilir ke setiap dusun dan dalam seminggu hanya tiga kali air mengalir ke satu dusun sehingga berakibat pada lahan pertanian warga. Minimnya air yang didapat oleh warga juga berdampak pada masalah sosial karena tidak jarang mereka bentrok dengan anggota warga lain untuk mendapatkan air bersih.
Masyarakat akhirnya menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan dari pembabatan hutan bambu sangat besar sehingga pada tahun 1975-1976 warga bekerja sama dengan Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam (KPSA) mulai menanami kembali hutan tersebut dengan bambu. Sejak itu warga sangat mendukung sekali pelestarian hutan bambu, bahkan mereka bekerja sama membangun plengsengan pelindung mata air dan menata hutan bambu agar nyaman dikunjungi.
Penggunaan bambu untuk menjaga sumber mata air memang sangat tepat karena bambu mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Pohon bambu merupakan sumber tangkapan air yang sangat baik sehingga mampu meningkatkan aliran air bawah tanah. Selain itu pohon bambu mudah ditanam, tidak membutuhkan perawatan khusus, dapat tumbuh di semua jenis tanah (basah maupun kering), tidak membutuhkan investasi besar, pertumbuhannya cepat, dan memiliki toleransi tinggi terhadap gangguan alam dan kebakaran. Bambu juga memiliki kemampuan peredam suara yang baik dan menghasilkan banyak oksigen sehingga pengelolaan hutan bambu cocok untuk digunakan sebagai pembatas jalan.



DAFTAR RUJUKAN
Anamofa, Jusuf Nikolas. 2010. Kearifan Lokal Guna Pemecahan Masalah, (Online), (http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2010/07/kearifan-lokal-guna-pemecahan-masalah.html), diakses pada 18 Januari 2012.
Burhani, Ruslan. 2011. Warga Lereng Semeru Gelar Tradisi 1 Muharam, (Online), (http://www.antaranews.com/berita/286652/warga-lereng-semeru-gelar-tradisi-1-muharam), diakses pada 18 Januari 2012.
Chusnul. 2007. Hutan Bambu, Lumajang Merindu, (Online), (http://dongengdalam.blogspot.com/2007/07/wisata-hutan-bambu-lumajang-merindu.html), diakses pada 10 Maret 2012.
Irawati, Dahlia. 2011. Hitan Bambu, Menjaga Sumber Air, (Online), (http://health.kompas.com/read/2011/09/23/0304276/Hutan.Bambu.Menjaga.Sumber.Air.), diakses pada 18 Januari 2012.
Putra, Laksana Agung. 2009. Meruwat Mata Air Kehidupan, (Online), (http://regional.kompas.com/read/2009/12/20/06194859/Meruwat.Mata.Air.Kehidupan), diakses pada 18 Januari 2012.
Syahrin, Alfi. 2011. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Kerangka Hukum Nasional, (Online), (http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09/kearifan-lokal-dalam-pengelolaan-lingkungan-hidup-pada-kerangka-hukum-nasional/), diakses pada 17 Maret 2012.
Zarkazi, Syaiful Rizal. 2011. Hutan Bambu, (Online), (http://singgahlumajang.blogspot.com/2011/04/hutan-bambu.html), diakses pada 10 Maret 2012.

0 komentar:

Posting Komentar