begitulah nasibnya...

Wajah teduh itu kini menjadi kusut. Tak lagi bergairah untuk memberi kesejukan, kedamaian, dan perlindungan. Bukan karena dia sudah enggan, tapi di usianya yang renta itu sudah tak berdaya untuk terus memberi manfaat pada kehidupan di sekitarnya.
Mungkin dalam diamnya dia menangis pilu, merasa terabaikan dan terlupakan. ”Dulu mereka bermain di sini, bersamaku. Tapi semakin mereka dewasa semakin melupakan aku, meninggalkan aku berdiri kaku di tengah hiruk pikuk langkah kaki mereka. Sudahkan mereka lupa dengan aku yang dahulu menjaga mereka saat mereka riang bermain di bawah tubuhku yang kekar????”. Andai dia punya hati, mungkin seperti itu yang akan terungkap olehnya.
Akhirnya setelah daun yang menempel di tubuhnya mulai gugur, dahan dan rantingnya mongering, batangnyapun tak sekokoh dulu, dia akan tetap berusaha memberi manfaat untuk orang-orang disekitarnya. Dengan tetap menghasilkan oksigen untuk mereka bernapas, tetap menyerap air untuk persediaan mereka waktu kemarau.
Dia semakin tidak berdaya saat mereka mulai menebangi tubuh renta itu. Tak mengapa baginya, karena memang untuk mereka dia diciptakan. Tapi betapa pilu hatinya karena bukan hanya dia, tetapi ratusan bahkan ribuan teman sejenisnya ditebang dengan serakahnya. Dia hanya bisa teriak ”Aku hanya ingin tetap menghijaukan bumi ini, sampai akhir nanti”.

0 komentar:

Posting Komentar