Ombak yang tak pernah bisa diam, menerpa langit yang penuh kesunyian. Melukis awan dengan suara merdu angin, membasuhnya dengan merah cakrawala. Pesona merah yang terpantul dari air yang bergelombang, menyatu dengan warna biru mencipta padu padan yang selaras.Hiruk pikuk burung kembali ke sarangnya, memeriahkan suasana gegap gempita.
Pasir di pesisir sedu sedan mengungkap berjuta jejak langkah kaki. Terpijak arus yang di bawa oleh hentakan kaki tiap insan. Hanyalah gersang di sepanjang jalannya. Kecuali terbasahi oleh tiap debur ombak kecil di bibir pantai.
Berlari sekuat tenaga, memeluk dunia dalam genggaman dalam mata terpejam. Memecah tawa yang terukir beberapa tahun lalu. Menginjakkan kaki di pasir yang dulu pernah kita injak, memandang kearah yang sama, dan berharap menemuka senyum yang sama saat membuka mata.
Aku sangat merindukannya. Keceriaan yang kita ciptakan di setiap sudut dunia, mengeringkan sembab di ujung mata. Tak pernah ada rasa sesal akan kenakalan kecil kita. Kini menjelang dewasa, serasa ada yang berubah. Angan yang kita ciptakan tak seindah asa untuk menggapainya. Terasa tali-tali yang mengikat kita sedemikian kuat tengah rapuh. Bisakah kita memintal kembali, agar jangan sampai terputus entah karena apa.
Kenapa kini begitu jauh? Tembang kecil dalam celoteh kita. Membasuhnya dengan gemercak air asin yang datang memecah di ujung jari-jari kaki. Kadang senyum, entah apa yang ditertawakan, tak ada yang lucu. Begitulah ironi kehidupan terjadi. Memoriam indah hanya ada tanpa bisa bersuara.
0 komentar:
Posting Komentar